Selasa, 28 Februari 2017

SEJARAH GOA JATIJAJAR

Goa Jatijajar adalah Goa Alam yang terletak di desa Jatijajar, Kecamatan Ayah, Kabupaten Dati II Kebumen. Goa ini terbentuk dari batu kapur dan telah diketemukan oleh seorang petani yang memiliki tanah diatas Goa tersebut yang Bernama “Jayamenawi”. Pada suatu ketika Jayamenawi sedang mengambil rumput, kemudian jatuh kesebuah lobang, ternyata lobang itu adalah sebuah lobang ventilasi yang ada di langit-langit Goa tersebut. Lobang ini mempunyai garis tengah 4 meter dan tinggi dari tanah yang berada dibawahnya 24 meter. Pada mulanya pintu-pintu Goa masih tertutup oleh tanah. Maka setelah tanah yang menutupi dibongkar dan dibuang, ketemulah pintu Goa yang sekarang untuk masuk. Karena dimuka pintu Goa ada 2 pohon jati yang besar tumbuh sejajar, maka goa tersebut diberi nama Goa Jatijajar (Versi ke I). Di dalam Goa Jatijajar terdapat 7 (tujuh) sungai atau sendang, tetapi yang data dicapai dengan mudah hanya 4 (empat) sungai yaitu : 1.Sungai Puser Bumi
2.Sungai Jombor 3.Sungai Mawar 4.Sungai Kantil Tiap-tiap sungai/sendang mempunyai mitos, yaitu : Untuk sungai Puser Bumi dan Jombor konon airnya mempunyai khasiat dapat digunakan untuk segala macam tujuan menurut kepercayaan masing-masing. Sedangkan Sungai Mawar konon airnya jika untuk mandi atau mencuci muka, mempunyai khasiat bisa awet muda. Adapun Sendang kantil jika airnya untuk cuci muka atau mandi, maka niat/cita-citanya akan mudah tercapai. Pada saat ini yang telah dibangun baru Sendang Mawar dan Sendang Kantil, Sedangkan Sendang Jombor dan Sendang Puser Bumi masih alami dan masih belum ada penerangan serta licin. Di dalam Goa Jatijajar banyak terdapat Stalagmit dan juga Pilar atau Tiang Kapur, yaitu pertemuan antara Stalagtit dengan Stalagmit. Kesemuanya ini terbentuk dari endapan tetesan air hujan yang sudah bereaksi dengan batu-batu kapur yang ditembusnya. Menurut penelitian para ahli, untuk pembentukan Stalagtit itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Dalam satu tahun terbentuknya Stalagtit paling tebal hanya setebal 1 (satu) cm saja. Oleh sebab itu Goa Jatijajar merupakan Goa Kapur yang sudah tua sekali. Batu-batuan yang ada di Goa Jatijajar merupakan batuan yang sudah tua sekali. Karena umur yang sudah tua sekali itu, maka di muka Goa Jatijajar dibangun sebuah patung Binatang Purba Dino Saurus sebagai simbol dari Objek Wisata Goa Jatijajar, dari mulut patung itu keluar air dari Sendang Kantil dan sendang Mawar, yang sepanjang tahun belum pernah kering. Sedangkan air yang keluar dari patung Dino Saurus tersebut dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai pengairan sawah desa Jatijajar dan sekitarnya. Adapun Goa Jatijajar mempunyai panjang dari pintu masuk ke pintu keluar sepanjang 250 meter. Lebar rata-rata 15 meter dan tinggi rata-rata 12 meter sedangkan ketebalan langit-langit rata-rata 10 meter, dan ketingian dari permukaan laut 50 meter. Sebelum Goa Jatijajar dibangun sebagai Objek Wisata, dahulu dikelola oleh juru kunci. Adapun silsilah juru kunci yang pernah mengelola Goa Jtijajar, yaitu : a. Juru Kunci Ke I – Jayamenawi b. Juru Kunci Ke II – Bangsatirta c. Juru Kunci Ke III – Manreja d. Juru Kunci Ke IV – Jayawikrama e. Juru Kunci Ke V – Sandikrama Pada tahun 1975 Goa Jatijajar mulai dibangun dan dikembangkan menjadi Objek Wisata. Adapun yang mempunyai ide untuk mengembangkan atau membangun Goa Jatijajar yaitu Bapak Suparjo Rustam sewaktu menjadi Gubernur Jawa Tengah. Sedang pada waktu itu yang menjadi Bupati Kebumen adalah Bapak Supeno Suryodiprojo. Untuk melancarkan dan melaksanakan pengembangan Goa Jatijajar ditunjuk langsung oleh Bapak Suparjo Rustam cv.AIS dari Yogyakarta, sebagai pimpinan dari cv.AIS adalah Bapak Saptoto, seorang seniman deorama yang terkenal di Indonesia. Sebelum Pemda Kebumen melaksanakan pembagunan Goa Jatijajar, terlebih dahulu Pemda Kebumen telah mengganti rugi tanah penduduk yang terkena lokasi pembangunan Objek Wisata Goa Jatijajar Seluas 5,5 hektar. Setelah Goa Jatijajar dibangun maka pengelolanya dikelola oleh Pemda Kebumen. Sejak Goa Jatijajar dibangun, di dalam Goa Jatijajar sudah ditambah dengan bangunan-bangunan seni antara lain: pemasangan lampu listrik sebagai penerangan, trap-trap beton untuk memberikan kemudahan bagi para wisatawan yang masuk ke dalam Goa Jatijajar serta pemasangan patung-patung atau deorama. Deorama yang di pasang dan dalam Goa Jatijajar ada 8 (delapan) deorama, yang patung-patungnya ada 32 buah. Keseluruhannya mengisahkan cerita Legenda dari “Raden Kamandaka – Lutung Kasarung”. Adapun kaitannya dengan Goa Jatijajar ialah, dahulu kala Goa Jatijajar pernah digunakan untuk bertapa oleh Raden Kamandaka Putera Mahkota dari Kerajaan Pajajaran, yang bernama aslinya Banyak Cokro atau Banyak Cakra. Perlu diketahui bahwa jaman dahulu sebagian dari wilayah Kabupaten Kebumen, adalah termasuk wilayah kekuasaan Pajajaran, yang pusat pemerintahannya di Bogor (Batutulis) Jawa Barat. Adapun batasnya yaitu Kali Lukulo dari Kabupaten Kebumen sebelah Timur Kali Lukulo masuk ke wilayah Kerajaan Mojopahit, sedangkan sebelah barat Kali Lukulo masuk wilayah Kerajaan Pajajaran. Sedangkan cerita itu terjadinya di kabupaten Pasir Luhur, yaitu daerah Baturaden atau Purwokerto pada abad ke-14. Namun keseluruhan Deoramanya dipasang di dalam Goa Jatijajar.

SEJARAH TUGU JOGJA

Tugu Yogyakarta atau yang lebih dikenal sebagai Tugu Malioboro ini mempunyai nama lain Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih merupakan penanda batas utara kota tua Yogya. Tugu Yogya bukanlah tugu sembarang, tapi tugu Yogya ini adalah tugu yang memiliki mitos yang sangat bersejarah dan sejuta misteri di dalamnya, sehingga menjadi salah satu keistimewaan yang dimiliki kota Yogya. Tugu Yogya dibangun pada tahun 1755 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, pendiri kraton Yogyakarta yang mempunyai nilai simbolis dan merupakan garis yang bersifat magis menghubungkan Laut Selatan, Kraton Yogya dan Gunung Merapi. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan.Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), hingga akhirnya dinamakan Tugu Golong-Gilig.Keberadaan Tugu ini juga sebagai patokan arah ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I pada waktu itu melakukan meditasi, yang menghadap puncak gunung Merapi. Bangunan Tugu Jogja saat awal dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas, sementara bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar, sedangkan bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian bangunan tugu golong gilig ini pada awalnya mencapai 25 meter Kondisi Tugu Yogya ini berubah total pada 10 Juni 1867, di mana saat itu terjadi bencana alam gempa bumi besar yang mengguncang Yogyakarta, yang membuat bangunan tugu runtuh. Runtuhnya tugu karena gempa inilah yang membuat keadaan dalam kondisi transisi karena makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu. Pada tahun 1889, keadaan Tugu benar-benar berubah, saat pemerintah Belanda merenovasi seluruh bangunan tugu. Kala itu Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan pun menjadi lebih rendah, yakni hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itulah, tugu ini disebut sebagai De White Paal atau Tugu Pal Putih. Perombakan bangunan Tugu saat itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja, namun melihat perjuangan rakyat dan raja d

SEJARAH PERANG DIPONEGORO

Sejarah Perang Diponegoro dan Sebabnya. Pertama kita bahas terlebih dulu sebab-sebab terjadinya perang ini. Ada 2 sebab yaitu sebab umum dan sebab khusu terjadinya perang Diponegoro. Berikut penjelasannya. Sebab Umum: A. Rakyar terlilit berbagai hutang dan berbagai bentuk pajak. B. Pemerintah kolonial Belanda ikut campur dalam kehidupan politik kerajaan. C. Rakyat menderita, sementara kehidupan kerajaan berhura-hura. Sebab Khusus: Pangeran Diponegoro tersingkir dari kalangan elit kekuasaan karena menolak berkompromi dengan pemerintah kolonial. Pangeran Diponegoro memilih untuk mengasingkan diri ke Tegalrejo. Pemerintah kolonial melakukan provokasi dengan membuat jalan yang menerobos makam leluhur dari Pangeran Diponegoro. Dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, membuat Pangeran Diponegoro tidak dapat menahan kesabarannya lebih lama lagi. Permintaan beliau untuk mengganti patih yang saat itu menjabat ditolak oleh residen. Sebab itulah beliau menyuruh agar tonggak-tonggak pemancang yang ada di jalan diganti dengan bambu runcing. Akibat tindakannya tersebut, akhirnya Belanda melalui Pangeran Mangkubumi memutuskan untuk memanggil beliau untuk menanyakan tindakan-tindakan yang beliau lakukan. Beliau tahu kalau ia datang pada undangan tersebut ia akan ditangkap. Baca juga kolonialisme masa pemerintahan Belanda. Akibatnya pada tanggal 25 Juli 1825 pasukan Belanda menyerbu Tegalrejo dan kemudian direspon oleh pasukan Diponegoro dengan balik melawan. Beliau dan keluarganya berhasil melepaskan diri dari serangan Belanda dan bersama pasukannya menyingkir ke Gua Selarong, barat daya Yoryakarta. Di tempat itu, Pangeran Diponegoro bersama pasukannya menyusun rencana untuk menyerang Belanda. Di tempat itu juga, beliau mendapat bantuan dari warga-warga sekitar yang telah lama menderita karena ulah kolonial. Bergabung juga para Ulama, salah satunya adalah Kyai Mojo, seorang ualam asal Surakarta. Istilah "Perang Sabil" dikumandangkan ke segenap wilayah baik itu yang berada di Gua Selarong, maupun ditempat-tempat lain. Pertempuran-pertempuran yang terjadi pada kurun waktu 1825-1826 berhasil dimenangkan oleh beliau dan pasukannya. Latar Belakang Perang Diponegoro. A. Semangat yang tinggi dari pasukan. B. Siasat gerilya yang sangat rapi dan belum tertandingi. C. Pasukan Belanda masih belum terkumpul karena sebagaian masih di Sumatra Barat untuk menjalani Perang Padri. Latar Belakang Perang Diponegoro Pasukan Diponegoro semakin kuat dan menjadi salah satu pasukan yang ditakuti oleh Belanda waktu itu. Medan pertempuran yang semakin meluas serta berbagai kemenangan yang diraih oleh Diponegoro dan pasukannya membuat Belanda menjadi ketar-ketir, untuk itu Belanda menggelar berbagai siasat-siasat untuk melemahkan Diponegoro dan Pasukannya. Berikut siasat-siasat yang Belanda lakukan. Sultan HB II (Sultan Sepuh) yang senelumnya dibuang Raffles ke Penang dipulangkan kembali ke Yogyakarta guna mendatangkan perdamaian sehingga para bangsawan yang memihak Diponegoro mau kembali ke keraton. Namun siasat tersebut gagal karena Sultan Sepun tidak memiliki wibawa lagi dan tidak lama setelah itu ia meinggal. Jendral de Kock melakukan bujuk rayu kepada para pengikut Diponegoro khususnya orang yang memiliki kekuasaan sebelumnya. Mereka dijanjikan akan mendapat uang dan kedudukan yang mereka inginkan. Siasat tersebut akhirnya berhasil, satu persatu mereka kembali lagi ke Ibu Kota dan meninggalkan Pangeran Diponegoro. Siasat yang dilakukan selanjutnya adalah dengan membangung benteng-benteng di daerah-daerah yang berhasil direbut, tujuannya adalah agar ruang gerak dari pasukan Diponegoro semakin sedikit. Setelah terdesak, Belanda melakukan pendekatan agar Diponegoro mau untuk diajak damai. Namun terjadi kegagalan. De Kock semakin ketar-ketir karena kian hari pasukan Diponegoro semakin banyak dari warga Magelang, disisi lain pemerintahnya menuntutnya untuk bisa secepatnya menghentikan serangan-serangan yang dilakukan oleh Diponegoro. Melalui sebuah perundingan, akhirnya pangeran Diponegoro ditangkap dan kemudian diasingkan ke Makasar hingga beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855.

SEJARAH CANDI MENDUT

Candi Mendut terletak di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar 38 km ke arah barat laut dari Yogyakarta. Lokasinya hanya sekitar 3 km dari Candi Barabudhur, yang mana Candi Buddha ini diperkirakan mempunyai kaitan erat dengan Candi Pawon dan Candi Mendut. Ketiga candi tersebut terletak pada satu garis lurus arah utara-selatan. Belum didapatkan kepastian mengenai kapan Candi Mendut dibangun, namun J.G. de Casparis menduga bahwa Candi Mendut dibangun oleh raja pertama dari wangsa Syailendra pada tahun 824 M. Dugaan tersebut didasarkan pada isi Prasasti Karangtengah (824 M), yang menyebutkan bahwa Raja Indra telah membuat bangunan suci bernama Wenuwana. Casparis mengartikan Wenuwana (hutan bambu) sebagai Candi Mendut. Diperkirakan usia candi Mendut lebih tua daripada usia Candi Barabudhur. Candi ini pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1836. Seluruh bangunan candi Mendut diketemukan, kecuali bagian atapnya. Pada tahun 1897-1904, pemerintah Hindia Belanda melakukan uapaya pemugaran yang pertama dengan hasil yang cukup memuaskan walaupun masih jauh dari sempurna. Kaki dan tubuh candi telah berhasil direkonstruksi. Pada tahun 1908, Van Erp memimpin rekonstruksi dan pemugaran kembali Candi Mendut, yaitu dengan menyempurnakan bentuk atap, memasang kembali stupa-stupa dan memperbaiki sebagian puncak atap. Pemugaran sempat terhenti karena ketidaktersediaan dana, namun dilanjutkan kembali pada tahun 1925. Candi Mendut memiliki denah dasar berbentuk segi empat. Tinggi bangunan seluruhnya 26,40 m. Tubuh candi Buddha ini berdiri di atas batur setinggi sekitar 2 m. Di permukaan batur terdapat selasar yang cukup lebar dan dilengkapi dengan langkan. Dinding kaki candi dihiasi dengan 31 buah panel yang memuat berbagai relief cerita, pahatan bunga dan sulur-suluran yang indah. Di beberapa tempat di sepanjang dinding luar langkan terdapat jaladwara atau saluran untuk membuang air dari selasar. Jaladwara terdapat di kebanyakan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, seperti di Candi Barabudhur, Candi Banyuniba, Candi Prambanan dan di Situs Ratu Baka. Jaladwara di setiap candi memiliki bentuk yang berbeda-beda. Tangga menuju selasar terletak di sisi barat, tepat di depan pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi. Pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi dilengkapi dengan bilik penampil yang menjorok keluar. Atap bilik penampil sama tinggi dan menyatu dengan atap tubuh candi. Tidak terdapat gapura atau bingkai pintu pada dinding depan bilik penampil. Bilik itu sendiri berbentuk lorong dengan langit-langit berbentuk rongga memanjang dengan penampang segi tiga. Dinding pipi tangga dihiasi dengan beberapa panil berpahat yang menggambarkan berbagai cerita yang mengandung ajaran Buddha. Pangkal pipi tangga dihiasi dengan sepasang kepala naga yang mulutnya sedang menganga lebar, sementara di dalam mulutnya terdapat seekor binatang yang mirip singa. Di bawah kepala naga terdapat panil begambar makhluk kerdil mirip Gana. Atap candi itu terdiri dari tiga kubus yang disusun makin ke atas makin kecil, mirip atap candi-candi di Komplek Candi Dieng dan Gedongsanga. Di sekeliling kubus-kubus tersebut dihiasi dengan 48 stupa kecil. Puncak atap sudah tidak tersisa sehingga tidak diketahui lagi bentuk aslinya. Dinding dalam bilik penampil dihiasi dengan relief Kuwera atau Avataka dan relief Hariti. Relief Kuwera terpahat di dinding utara, relief Hariti terpahat di dinding selatan. Kuwera adalah seorang raksasa pemakan manusia yang bertobat setelah bertemu dengan Buddha. Ia berubah menjadi dewa kekayaan dan pelindung anak-anak. Kuwera mempunyai seorang istri bernama Hariti, yang semula adalah juga seorang raksasa pemakan manusia. Sebagaimana halnya suaminya, Hariti bertobat setelah bertemu Buddha dan kemudian menjadi pelindung anak-anak. Relief Kuwera dan Hariti terdapat di banyak candi Buddha Tantrayana, seperti di Candi Sewu, Candi Banyuniba dan Candi Kalasan. Dalam relief itu digambarkan Kuwera sedang duduk di atas sebuah bangku. Di sekelilingnya tampak sejumlah anak sedang bermain-main. Di bawah tempat duduk laki-laki tersebut terdapat pundi-pundi berisi uang. Pundi-pundi berisi uang merupakan ciri Kuwera sebagai dewa kekayaan. Relief Hariti menampilkan suasana yang serupa. Hariti bersimpuh di atas sebuah bangku sambil memangku seorang anak. Di sekelilingnya terlihat sejumlah anak sedang bermain. Dinding tubuh candi dihiasi dengan relief yang berkaitan dengan kehidupan Buddha. Pada dinding selatan terdapat relief Bodhisattwa Avalokiteswara. Sang Buddha duduk di atas padmasana (singgasana dari bunga padma) di bawah naungan pohon kalpataru. Di sebelah kanannya Dewi Tara bersimpuh di atas padmasana dan di sebelah kirinya seorang wanita lain juga bersimpuh di atas padmasana. Agak ke atas, di kiri dan kanan tampak seperti dua gumpalan awan. Dalam masing-masing gumpalan tampak sosok seorang pria sedang membaca kitab. Di tepi kiri dan kanan digambarkan pilar dari batu yang disusun bertumpuk. Di puncak pilar terlihat Gana dalam posisi berjongkok sambil menyangga sesuatu. Di hadapan Sang Buddha ada sebuah kolam yang dipenuhi dengan bunga teratai. Air kolam berasal dari air mata Buddha yang menetes karena kesedihannya memikirkan kesengsaraan umat manusia di dunia. Tepat di hadapan Buddha, terlihat dua orang perempuan muncul dari sela-sela teratai di kolam. Pada dinding timur terpahat relief Bodhisatwa. Dalam relief ini Sang Buddha yang digambarkan sebagai sosok bertangan empat sedang berdiri di atas tempat yang bentuknya mirip lingga. Pakaian yang dikenakan adalah pakaian kebesaran kerajaan. Di sekeliling kepalanya memancar sinar kedewaan. Tangan kiri belakang memegang kitab, tangan kanan sebelah belakang memegang tasbih, kedua tangan depan menggambarkan sikap varamudra, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan memberi anugrah. Di sebelah kirinya setangkai bunga teratai yang keluar dari dalam bejana. Pada dinding sisi utara terpahat relief yang menggambarkan Dewi Tara sedang duduk di atas padmasana, diapit dua orang lelaki. Dalam relief ini Tara digambarakan sebagai dewi bertangan delapa. Keempat tangan kiri masing-masing memegang tiram, wajra, cakra, dan tasbih, sedangkan keempat tangan kanan masing-masing memegang sebuah cawan, kapak, tongkat, dan kitab. Pada dinding barat (depan), di sebelah utara pintu masuk, terdapat relief Sarwaniwaranawiskhambi. Sarwaniwaranawiskhambi digambarkan sedang berdiri di bawah sebuah payung. Busana yang dipakainya adalah busana kebesaran kerajaan. Di ruangan yang cukup luas dalam tubuh Candi Mendut terdapat 3 buah Arca Buddha. Tepat mengadap pintu terdapat Buddha Sakyamuni, yaitu Buddha sedang berkhotbah. Buddha digambarkan dalam posisi duduk dengan sikap tangan dharmacakramudra, yaitu sikap sedang mewejangkan ajaran. Di sebelah kanan, menghadap ke selatan, terdapat Arca Bodhisattva Avalokiteswara, yaitu Buddha sebagai penolong manusia. Buddha digambarakan dalam posisi duduk dengan kaki kiri terlipat dan kaki kanan menjuntai ke bawah. Telapak kaki kanan menumpang pada bantalan teratai kecil. Di sebelah kiri ruangan, menghadap ke utara, terdapat Arca Maitreya yaitu Bodhisatwa pembebas manusia yang sedang duduk dengan sikap tangan simhakarnamudra, mirip sikap vitarkamudra namun jari-jarinya tertutup. Ketiga arca dalam ruangan ini memakai dilengkapi dengan 'prabha" atau sinar kedewaan di sekeliling kepalanya. Di sudut selatan, di halaman samping Candi Mendut terdapat batu-batu reruntuhan yang sedang diidentifikasi dan dicoba untuk direkonstruksi.

Sabtu, 11 Februari 2017

ASAL USUL DESA KEMUTUG

1.Sejarah Desa Kemutug.
  Konon katanya desa kemutug adalah dapur dari kerajaan Ngumbul.Kerajaan tersebut adalah salah satu kerajaan di Yogyakarta.dan di desa kemutug itu adalah dapur kerajaan tsb.dan pada suatu hari ada tentara belanda yg menyerang kerajaan Ngumbul.Pada peperangan tersebut memberi dampak butuk pada dapur Kerajaan Ngumbul.Dapur tersebut di bakar oleh tentara belanda.pada kebakaran tersebut api sangat sulit di padamkan hingga hampir merambat ke hutan yg menutupi dapur tersebut.Setelah indonesia merdeka kerajaan pun di bubarkan.tanpa alasan yg tepat dan bekas kebakaran tersebut masih meninggalkan jejak.pada suatu hari ada seseorang yang memutuskan mendirikan suatu desa di bekas kebakaran tersebut.dan seseorang itu mikirkan nama yg cocok pada desa tersebut.dan seseorang itu ingat kalau ada peristiwa kebakaran yg hebat di tempat ini.lalu seseorang tersebut memilih nama KEMUTUG yg dalam kiasan memiliki makna semangat yang membara tidak dapat di hentikan oleh siapapun.jadi itulah asal usul desa kemutug.
2.Letak Desa Kemutug
  DARI SELATAN
 Berada di utara jalan ring road selatan,perempatan wojo ke timur,barat masjid islamic center UAD.
   DARI UTARA
  Berada di selatan RSUD YOGYAKARTA
3.Fasilitas Desa
- masjid 1
-pos ronda 4
-gudang desa 2
-papan pengumuman 6
-fasilitas baca koran 1
-lapangan bulutangkis 1
-lapangan voli 1
-makam 1